“Tokoh Lintas Agama Kritik SBY”. Itulah judul berita menarik di koran Jawa Pos, 11 Januari 2011. Intinya, sejumlah tokoh lintas agama bertemu pada (10/1/2011), lalu mencanangkan tahun ini sebagai tahun perlawanan terhadap kebohongan dan pengkhianatan.
Din Syamsuddin --seorang dari delapan tokoh lintas agama yang menyatakan sikap secara kolektif itu-- menegaskan bahwa aksi antikebohongan itu dirasa perlu dilakukan agar "Jangan sampai ada kesenjangan antara pernyataan dan kenyataan" (hidayatullah.com, 18/1/2011).
Ada apa sebenarnya? Bagaimana perspektif Islam tentang bohong?
Ada Kesenjangan
Para tokoh lintas agama yang bertemu pada (10/1/2011) itu berpendapat bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan. Menurut mereka, ada beberapa kebohongan -antara lain- di bidang pemberantasan kemiskinan dan penegakan hukum.
Di pertemuan (10/1/2011) itu, Din Syamsuddin menyatakan bahwa penguasa telah melakukan banyak kebohongan publik. Padahal –papar Din- para pembohong merupakan orang munafik. Jika kebohongan dilakukan oleh penguasa, akan timbul kehancuran sistimatis (Jawa Pos, 11/1/2011).
Din Syamsuddin tentu saja tak asal bunyi. Sebab, Islam telah secara tegas melarang kita berperilaku bohong, terutama saat seseorang menyandang status sebagai raja atau penguasa/pemerintah. Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga golongan manusia, di mana pada hari kiamat Allah tidak akan memandang mereka dengan rahmat-Nya, bahkan mereka itu akan memeroleh siksaan yang menyakitkan, yaitu: Orang tua yang berbuat zina, raja atau penguasa / pemerintah yang berdusta, dan orang melarat yang sombong.” (HR Muslim).
Adakah perkembangan positif menyusul munculnya pernyataan kritis dari tokoh-tokoh lintas agama pada yang diadakan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sejumlah tokoh lintas agama?
Kompas (18/1), “Pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan para pemuka dan tokoh lintas agama belum menghasilkan hal yang konkret. Keprihatinan para pemuka dan tokoh agama masih direspons oleh pemerintah dengan cara memberikan janji-janji yang baru.”
Jangan Lakukan!
Larangan agar kita tak (suka) berbohong jelas dasar hukumnya, antara lain: \"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.\" (QS An-Nahl [16]: 105).
Nabi Muhammad SAW memasukkan perilaku bohong sebagai salah satu ciri orang munafik. Tanda orang-orang munafik itu ada tiga. Pertama, jika berkata-kata ia bohong atau dusta. Kedua, bila berjanji ia mengingkari. Ketiga, saat diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya (HR Bukhari dan Muslim).
Sungguh, jangan (suka) bohong, agar kita tak celaka dunia-akhirat! Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa (QS Al-Jaatsiyah [45]: 7).
Jauhilah sifat senang bohong sebab Allah mengutuk orang yang banyak berbohong. Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta (QS Adz-Dzaariyaat [51]: 10).
Tinggalkanlah sikap (suka) bohong, sebab jika itu kita lakukan, siksa yang pedih di neraka menanti. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (QS Al-Baqarah [2]: 10). Hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga. Selama seorang benar dan selalu memilih kebenaran dia tercatat di sisi Allah seorang yang benar (jujur). Hati-hatilah terhadap dusta. Sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Selama seorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta / pembohong (HR Bukhari).
Suka berbohong bukanlah sifat seorang Mukmin. Jadi, jauhilah! Seseorang yang membohongi temannya (atau, jika seseorang itu sedang berstatus sebagai penguasa maka yang dibohongi adalah rakyatnya) adalah pengkhianat besar. Suatu khianat besar bila kamu berbicara kepada kawanmu dan dia memercayai kamu sepenuhnya, padahal dalam pembicaraan itu kamu berbohong kepadanya. (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Memang, di dalam keadaan tertentu (khusus) ada perkecualian yaitu boleh berbohong. Berdasar HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud kita tahu bahwa bohong itu diperkenankan hanya dalam tiga hal yaitu bohong untuk mendamaikan perselisihan di antara manusia, bohong dalam (menyimpan strategi) perang, dan bohong demi menguatkan keharmonisan pasangan suami-istri.
Sebagai contoh, perhatikanlah riwayat berikut ini: Pada suatu ketika, ada seseorang yang sedang mencari-cari musuhnya dan berniat akan berkelahi dengannya. Kebetulan, dia berpapasan dengan Nabi Muhammad SAW yang sedang berdiri di sebuah tempat.
Bertanyalah orang itu kepada Nabi SAW, bahwa apakah Nabi SAW melihat seseorang lewat di situ? Sebelum menjawab pertanyaan itu, Nabi SAW menggeser posisi tempat berdirinya, dan barulah berkata bahwa, “Sejak saya berdiri di sini, saya belum pernah melihat orang lain selain Anda.”
Tentu saja, apa yang disampaikan Nabi SAW itu memang benar secara faktual! Bukankah sejak Nabi SAW berdiri di posisinya yang baru itu beliau memang belum melihat orang lain selain orang yang bertanya itu?
Jadi, agar selamat dunia-akhirat, janganlah sekali-kali kita berbohong kecuali dalam konteks tiga hal yang diperbolehkan seperti yang dijelaskan di atas.
Terakhir, mari praktikkan secara bersama-sama sebagaimana yang pernah diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "Jangan ada dusta di antara kita." []
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim
Rep. Cholis Akbar
Red. Cholis Akbar
[hidayatulloh/bs]
Dunia Islam Terkini