Tersebarnya hadits-hadits dha’if di tengah-tengah kaum muslimin bukanlah hal yang baru. Bahkan tidak jarang kita dapati sebagian kaum muslimin berhujjah dengan hadits-hadits dha’if untuk melegalkan perbuatan dan kebiasaan mereka sebagai ‘sebuah ibadah’. Ditambah lagi munculnya para du’at dan ulama suu` (jahat) yang menyebarkan dan mendakwahkan kebid’ahan mereka dengan berhujah pada hadits-hadits dha’if bahkan hadits maudhu’ (palsu). Justru mendakwakan bahwa pembagian hadits kepada shahih, hasan, dan dha’if sebagaimana yang telah disepakati oleh para aimmatul hadits (pakar hadits) adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan dan tidak pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menurut mereka bahwa hadits hanya satu, yaitu bersumber dari Rasulullah, dan semua yang bersumber dari Rasulullah adalah shahih. Dan membaginya kepada shahih, hasan, dan dha’if adalah kebid’ahan yang dibuat-buat oleh ahli hadits. Wal’iyadzubillah.
Menjelang bulan Ramadhan ini, dan juga yang telah berlalu pada tahun-tahun sebelumnya, banyak hadits-haditsdhai’f, bahkan palsu dan munkar yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin berkaitan dengan keutamaan dan amalan bulan Ramadhan. Hadits-hadits dha’if ini sering kali disampaikan pada kultum, ceramah, maupun pengajian-pengajian yang diadakan menjelang atau dalam bulan Ramadhan. Untuk itu, hendaklah kita senantiasa waspada dan mawas diri. Karena dengan meriwayatkan hadits dha’if berarti kita berdusta atas nama Rasulullah. Dan berdusta atas nama beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sebuah dosa besar, yang pelakunya telah dikecam dan diancam oleh beliau,
“Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka,” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di dalam neraka.”
Berikut akan kami paparkan beberapa hadits dha’if, palsu dan munkar yang masyhur di bulan Ramadhan, semoga kita tidak terjerumus dalam perangkap Iblis.
Hadits dha’if, palsu dan munkar seputar bulan Ramadhan
Syaikh Abu Anas Majid Islam Al-Bankani hafizhahullah telah menulis sebuah kitab yang sangat bagus berkaitan dengan masalah ini. Kitab yang beliau beri judul dengan ‘Tanzihu Kalami Khairil Anam ‘Amma Laa Yashihhu min Ahaditsi Ash-Shiyam’ telah memuat beberapa puluh hadits dha’if, palsu bahkan munkar yang berkaitan dengan bulan Ramadhan. Kemudian beliau jelaskan kedaifan sanadnya. Diantara hadits-hadits dha’if, palsu dan munkar tersebut adalah:
1. Tentang keutamaan bulan Ramadhan
لَوْ يَعْلَمُ اْلعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتيِ أَنْ تَكُوْنَ السَّنَةُ كُلُّهَا رَمَضَانَ
“Sekiranya para hamba mengetahui keutamaan (dan pahala) yang terdapat pada bulan Ramadhan, maka pastilah umatku akan berangan-angan satu tahun penuh itu semuanya (menjadi) Ramadhan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Kitabul Maudhu'at (2/188-189) dan Abu Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada al-Muthalibul Aaliyah (Bab A-B/ manuskrip) dari jalan Jabir bin Burdah, dari Abi Mas'ud Al-Ghifari.
Hadits ini Maudhu' (palsu), cacatnya pada Jabir bin Ayyub, riwayat hidupnya dinukil Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan(2/101) dan (beliau) berkata: “Terkenal dengan kelemahan”, beliau juga menukil ucapan Abu Nu’aim tentangnya: “Dia suka memalsukan hadits.” Al-Bukhari juga berkata, “Haditsnya tertolak”, dan menurut An-Nasa`i, “ditinggalkan haditsnya.”
2. Hadits dha’if yang lain:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ الله ُصِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلَتِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ اْلخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ... وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ...
“Wahai manusia sungguh telah datang pada kalian bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, dan shalat malamnya sebagai sunnah. Barangsiapa mendekatkan diri di dalamnya dengan suatu perkara kebaikan maka dia seperti orang yang menunaikan suatu kewajiban pada bulan lainnya…dialah bulan yang awalnya rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari neraka…”
Hadits ini, menurut dua murid ulama hadits tersebut, sanadnya dhai’f (lemah) karena lemahnya Ali bin Zaid.
Ibnu Sa’ad berkata, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya,” dan Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata, “Dha’if.” Ibnu Abi Khaitsamah berkata, “Lemah di segala segi”, dan Ibnu Khuzaimah berkata: “Jangan berhujjah dengan hadits ini karena jelek hafalannya.” demikianlah di dalam Tahdzibut Tahdzib(7/322-323).
3. Hadits dha’if yang lain:
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Berpuasalah maka kamu sekalian sehat.”
Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Said, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas.
Nahsyal termasuk yang tidak dipakai karena dia pendusta, sedang Adh-Dhahak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.
Dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath (1/Q, 69/ Al-Majma’ul Bahrain) dan Abu Na’im di dalam Ath-Thibbun Nabawi, dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhai bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih, dari Abi Hurairah. Sanadnya dha’if. (Berpuasa menurut Sunnah Rasulullah SAW, hal. 84).
4. Hadits dha’if berikutnya:
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa adalah (tetap) di dalam ibadah meskipun dia tidur di atas tempat tidurnya.”
Hadits ini sering kali kita dengar, paling tidak, maknanya bahwa tidurnya orang yang berpuasa itu adalah ibadah sehingga kemudian dijadikan alasan untuk menghabiskan waktu dengan tidur saja. Bahkan, mungkin shalat lima waktupun bolong karena tidur.
Menurut Syaikh Al-Albany, hadits ini ada pada riwayat yang lain tanpa periwayat tersebut sehingga dengan demikian, hadits ini bisa terselamatkan dari status Maudlu’ (palsu) tetapi tetap dha’if.
Syaikh Al-Albany juga menyebutkan bahwa Abdullah bin Ahmad di dalam kitabnya Zawa-`id Az-Zuhd, hal. 303meriwayatkan hadits tersebut dari ucapan Abi Al-‘Aliyah secara mauquf dengan tambahan ما لم يغتب ‘selama dia tidak menggunjing.’ Dan sanad yang satu ini adalah Shahih, barangkali inilah asal hadits. Ia Mauquf (hadits yang hanya diriwayatkan oleh Sahabat atau Tabi’in) lantas sebagian periwayat yang lemah keliru dengan menjadikannya Marfu’ (hadits yang sampai kepada Rasulullah). Wallahu a’lam. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudlu’ah, jilid II, karya Syaikh Al-Albany, no. 653, hal. 106.
Wallahu A’lamu bish Shawab (Azhar)
[an-najah/bs]